Bayangkan ini: orang tua telah tiada, meninggalkan sepetak tanah dan rumah yang dulu jadi tempat kenangan keluarga. Tapi alih-alih jadi berkah, warisan itu justru memicu pertengkaran. Salah satu saudara ingin menjual, yang lain ingin mempertahankan. Semua merasa berhak, tapi sertifikat masih atas nama almarhum.
Situasi seperti ini terjadi ribuan kali di seluruh
Indonesia. Menurut data Kementerian ATR/BPN, hingga 2023 terdapat
lebih dari 60% bidang tanah warisan yang belum dipecah dan masih atas
nama pewaris (orang tua yang telah meninggal). Ketidaktahuan soal prosedur dan
ketakutan biaya sering membuat proses ini ditunda—hingga akhirnya memicu
konflik keluarga yang berkepanjangan.
Jadi, bagaimana cara yang benar dan sah untuk memecah
sertifikat tanah karena warisan?
Mengapa Sertifikat Harus Dipecah?
Menurut Notaris & PPAT Yenny Kusuma, SH., M.Kn., memecah
sertifikat tanah warisan bukan sekadar administratif, tapi penting untuk:
- Menetapkan
hak masing-masing ahli waris secara legal
- Menghindari
konflik internal
- Memudahkan
transaksi jual beli atau pengalihan hak
- Memastikan tanah tidak menjadi objek sengketa hukum di masa depan
Baca Juga : Ijazah Ditahan Saat Proses Rekrutmen? Ini yang Harus Dilakukan Pelamar
Langkah-Langkah Memecah Sertifikat Tanah Warisan
Berikut adalah proses legal dan resmi yang dapat diikuti
oleh ahli waris:
1. Menentukan Ahli Waris Secara Resmi
a) Siapkan
surat keterangan ahli waris dari notaris (untuk WNI non-muslim) atau pengadilan
agama/negeri (untuk WNI muslim).
b) Sertakan
data lengkap seluruh ahli waris dan hubungan mereka dengan pewaris.
2. Mengurus Balik Nama Sertifikat
a) Ajukan
permohonan balik nama ke kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) atas
nama semua ahli waris.
b) Dokumen
yang dibutuhkan:
1)
Sertifikat asli
2)
Surat keterangan waris
3)
KTP & KK para ahli waris
4)
Akta kematian pewaris
5)
Bukti bayar PBB terakhir
3. Mengajukan Pemecahan Sertifikat
a) Setelah
balik nama atas nama bersama, pemecahan dilakukan sesuai kesepakatan pembagian
(misalnya 3 anak = 3 bidang).
b) Harus
dilakukan pengukuran ulang dan pembuatan gambar bidang tanah baru oleh petugas
BPN.
4. Membayar Biaya dan Pajak
a) Biaya
pengukuran, pemecahan, dan pendaftaran.
b) Jika
pembagian dilakukan dengan jual beli antar ahli waris, wajib bayar BPHTB
(Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).
c) Estimasi
biaya: Rp1 juta – Rp5 juta tergantung luas tanah dan lokasi.
Contoh Kasus Nyata: Keluarga Sulastri di Yogyakarta
Keluarga Bu Sulastri hampir retak karena tanah warisan orang
tua seluas 1.200 m² belum dipecah. Satu saudara menyewakan sebagian tanpa izin,
satu lagi ingin menjual bagian tengah. Setelah mediasi keluarga dan konsultasi
notaris, mereka sepakat melakukan pemecahan.
Kini, masing-masing saudara memiliki sertifikat resmi dan
dapat mengelola tanahnya sendiri. “Waktu tahu caranya ternyata tidak ribet.
Yang penting komunikasi dan sabar jalani prosesnya,” ujar Bu Sulastri.
Warisan Bukan
untuk Diperebutkan, Tapi Diteruskan
Warisan adalah bentuk kasih sayang terakhir dari orang tua
kepada anak-anaknya. Tapi jika tidak dikelola dengan bijak dan legal, ia bisa
berubah jadi bom waktu konflik keluarga.
Pecah sertifikat tanah warisan adalah langkah konkret
untuk melindungi hak semua pihak dan menjaga hubungan keluarga tetap harmonis.
Ini bukan soal siapa dapat lebih, tapi bagaimana semuanya bisa tenang dan jelas
ke depannya.
Punya cerita soal warisan yang belum dibagi atau sudah
berhasil diselesaikan? Bagikan di kolom komentar agar jadi pelajaran bagi orang
lain.
Jangan lupa share artikel ini ke grup keluarga agar lebih banyak orang tahu
pentingnya legalisasi warisan!
Ikuti blog ini untuk panduan hukum pertanahan, warisan, dan
solusi sosial lainnya yang berguna untuk hidupmu.
Posting Komentar