Bayangkan mencintai seseorang sepenuh hati, merasa yakin bahwa dialah belahan jiwamu, tapi cinta itu terus-menerus dihantam tembok besar bernama “agama”. Di Indonesia, banyak pasangan yang saling mencintai tapi harus menjalani kisah cinta yang penuh liku karena satu hal yang tak bisa dikompromikan: perbedaan keyakinan. Pertanyaannya, apakah cinta cukup kuat untuk menembus batas itu?
Kisah Nyata: Cinta, Agama, dan Jalan Terjal Pernikahan
Rina, seorang Katolik, jatuh cinta pada Arif, seorang
Muslim. Mereka bertemu di kantor, saling melengkapi, dan menjalani hubungan
selama 4 tahun. Setelah merasa mantap, keduanya memutuskan untuk menikah. Tapi
langkah mereka tidak mudah.
Saat mereka mencoba mencatatkan pernikahan di KUA, ditolak. Lalu mereka
mengurus pernikahan secara sipil di luar negeri agar tetap sah secara hukum,
meski tidak diakui oleh KUA atau Gereja.
“Kami menikah di Singapura. Keluarga saya datang, tapi orang
tua Arif tidak ikut. Sampai sekarang mereka belum bisa menerima saya,” kata
Rina dalam nada getir.
Mereka kini tinggal di Jakarta, memiliki anak, tapi selalu
dihantui pertanyaan: nanti anak ikut agama siapa? Apakah pernikahan ini
benar-benar sah menurut negara dan agama?
Masalah Hukum: Diakui atau Tidak?
Menurut hukum di Indonesia, pernikahan beda agama tidak
diakui secara sah oleh Kantor Urusan Agama (KUA), karena dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Artinya, jika dalam agama yang dianut oleh pasangan tersebut
pernikahan beda agama tidak diperbolehkan (seperti dalam Islam), maka negara
tidak akan mencatatkannya.
Solusi yang sering ditempuh:
1) Menikah
secara sipil di luar negeri, lalu mencatatkan akta kelahiran anak di
Indonesia.
2) Salah
satu pasangan berpindah agama demi memenuhi syarat pernikahan.
3) Menikah
secara sipil di dalam negeri, meski sering menimbulkan persoalan legal
di kemudian hari.
Namun, masing-masing pilihan punya konsekuensi besar, baik
secara hukum, sosial, maupun spiritual.
Analisis Sosial dan Pandangan Ahli
Menurut Dr. Musdah Mulia, cendekiawan Muslim dan
pegiat HAM:
“Negara harusnya memberi ruang bagi kebebasan memilih
pasangan hidup, karena cinta itu lintas batas. Tapi realitas di Indonesia belum
siap. Agama menjadi tembok yang sangat kokoh.”
Masalah tidak hanya berhenti di pencatatan pernikahan, tapi
juga muncul dalam kehidupan rumah tangga:
1) Anak
bingung identitas agama.
2) Lingkungan
sosial menghakimi.
3) Keluarga
besar tidak menerima.
4) Ritual
keagamaan menjadi sumber konflik.
Banyak pasangan akhirnya hidup dalam tekanan, menyembunyikan
status, atau terus-menerus berdamai dengan perbedaan tanpa penyelesaian.
Cinta memang bisa datang dari siapa saja — tapi ketika cinta
itu bertabrakan dengan kepercayaan, maka yang lahir bukan hanya kebahagiaan,
tapi juga luka-luka yang tak semua orang lihat.
Untuk para
pasangan beda agama: pikirkan matang-matang, bukan hanya soal cinta hari ini,
tapi juga tantangan 10 tahun ke depan.
Untuk para pembuat kebijakan: sudah
saatnya membuka ruang dialog yang adil, agar hukum tak lagi menjadi penjara
bagi cinta yang tulus.
Bagikan tulisan ini jika kamu mengenal seseorang yang sedang
berjuang dalam hubungan beda agama. Bisa jadi ini adalah cerita mereka juga.
Posting Komentar