Pagi itu, Lina datang ke kantor seperti biasa. Wajahnya tampak segar, senyumnya ramah. Tak ada yang aneh—hingga lengan panjang bajunya sedikit tersingkap, memperlihatkan bekas lebam keunguan. “Kesenggol lemari,” katanya ringan. Tapi benarkah begitu?
Berapa banyak perempuan (atau laki-laki) di luar sana yang menyembunyikan luka,
bukan karena mereka kuat, tapi karena takut? Takut akan stigma, ancaman, bahkan
kehilangan anak?
Apakah rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, kini justru menjadi
arena kekerasan paling sunyi?
Baca Juga : Revisi KUHAP: Akhir dari Peradilan Kolot, atau Awal Masalah Peradilan Baru?
1. Kekerasan
Dalam Rumah Tangga: Lebih Dari Sekadar Pukulan
Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) bukan hanya soal fisik. Ia bisa berbentuk kekerasan
verbal, psikologis, ekonomi, hingga seksual. Sayangnya, karena "tak
terlihat", banyak korban memilih diam. Menurut data Komnas Perempuan,
ribuan kasus KDRT dilaporkan setiap tahun—dan yang tidak dilaporkan, mungkin
berkali-kali lipat lebih banyak.
2. Diam
Bukan Berarti Baik-Baik Saja
Banyak korban
memilih bungkam demi “keutuhan rumah tangga” atau karena tekanan sosial. Mereka
merasa takut, malu, atau bahkan berpikir bahwa mereka pantas mendapat perlakuan
itu. Tapi luka yang disimpan terlalu lama bisa berubah menjadi trauma
berkepanjangan, yang berdampak buruk secara psikologis dan fisik.
3. Pandangan
Praktisi Hukum
Menurut Ratri
Kusumawardhani, SH., MH, seorang advokat dan pegiat perlindungan perempuan,
KDRT adalah bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
“UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sudah jelas menyatakan bahwa korban berhak
mendapat perlindungan hukum, layanan kesehatan, hingga rehabilitasi. Tapi
masalahnya bukan hanya pada hukum, melainkan pada keberanian korban untuk
bicara.”
Ratri menambahkan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah minimnya dukungan
dari lingkungan terdekat. “Korban butuh keberanian, tapi mereka juga butuh
dukungan. Jangan jadi orang yang berkata ‘sabar aja’, tapi jadilah pendengar
dan penyemangat untuk mencari keadilan.”
4. Bagaimana Kita Bisa
Membantu?
- Percaya pada Cerita Korban: Jangan
meremehkan atau menyalahkan.
- Beri Dukungan Nyata: Dampingi korban ke
lembaga perlindungan atau layanan bantuan hukum.
- Sediakan Informasi: Edukasi orang terdekat
tentang jenis-jenis KDRT dan cara melapor.
- Laporkan Jika Menjadi Saksi: Diam bisa
membuat kekerasan terus berlanjut.
Luka akibat kekerasan dalam rumah tangga mungkin tak selalu tampak, tapi bukan
berarti tidak nyata. Jangan biarkan rasa takut atau malu mengalahkan hak atas
keselamatan dan martabat.
Jika kamu sedang mengalami KDRT, kamu tidak sendiri. Ada jalan keluar.
Carilah bantuan, bicara, dan lawan.
Baca Juga : Advokat Dipinggirkan? RUU KUHAP dan Ancaman Bisu bagi Pembela Keadilan
Dan bagi kita yang bukan korban: dengarkan, jangan menghakimi, dan jadilah
jembatan bagi perubahan.
Bagikan tulisan ini agar lebih
banyak orang sadar dan peduli. Bisa jadi, tulisan ini adalah cahaya kecil bagi
seseorang yang hidup dalam kegelapan.
Posting Komentar