Pelecehan Seksual di Kantor: Ketika 'Bercanda' Jadi Teror dan Diam Bukan Lagi Pilihan

 Di ruang rapat, Andini merasa tubuhnya gemetar. Bukan karena gugup menghadapi presentasi, tapi karena komentar atasannya yang baru saja berbisik di telinganya: “Baju kamu hari ini menggoda, ya.” Semua orang tertawa, seolah itu hanya lelucon biasa. Tapi bagi Andini, itu awal dari rentetan gangguan—pesan larut malam, sentuhan yang tidak diinginkan, hingga tekanan psikis yang tak tertahankan.

Pernahkah kamu bertanya, berapa banyak orang yang menjalani hari kerja sambil menahan takut dan trauma?

Baca Juga : Revisi KUHAP: Akhir dari Peradilan Kolot, atau Awal Masalah Peradilan Baru?

Apakah kita masih akan terus membiarkan ruang kerja menjadi ladang kekuasaan bertopeng candaan?

1.       Realita Kelam di Balik Seragam Kerja

Pelecehan seksual di tempat kerja bisa terjadi secara halus maupun terang-terangan. Tak selalu berupa sentuhan fisik—komentar menjurus, pandangan yang melecehkan, atau ajakan pribadi yang tidak pantas juga termasuk pelecehan.
Korban bisa siapa saja: perempuan, laki-laki, bahkan mereka yang baru magang. Sayangnya, banyak yang memilih diam karena takut kehilangan pekerjaan, dicap pembuat masalah, atau tidak dipercaya.

2.       Dampaknya Lebih Dalam dari yang Dibayangkan

Pelecehan seksual tidak hanya menyisakan rasa malu. Ia merusak kepercayaan diri, menciptakan tekanan psikologis, mengganggu produktivitas, bahkan bisa menyebabkan depresi jangka panjang.
Ironisnya, di banyak kasus, pelaku tetap nyaman di kursinya, sementara korbanlah yang akhirnya keluar dari tempat kerja.

3.       Pandangan Praktisi Hukum

Menurut Laras Widyaningrum, SH., MH, seorang advokat dan pemerhati isu ketenagakerjaan, Indonesia sudah memiliki landasan hukum yang bisa digunakan untuk menindak pelecehan seksual, termasuk UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). “Namun sayangnya, banyak korban tidak tahu harus melapor ke mana. Ditambah lagi, di lingkungan kerja, bukti sering kali sulit dikumpulkan, dan HR belum tentu berpihak pada korban.”
Laras menyarankan agar setiap perusahaan memiliki SOP dan tim internal untuk menangani laporan pelecehan seksual secara profesional.
“Korban tidak boleh merasa sendirian. Dukungan rekan kerja dan sistem pelaporan internal sangat krusial.”

4.       Apa yang Bisa Dilakukan?

      a.  Kenali bentuk pelecehan seksual: Tidak semua “candaan” itu aman.

      b.   Simpan bukti: Screenshot, rekaman suara, atau saksi bisa sangat membantu.

      c.   Laporkan: Ke HRD, atasan yang lebih tinggi, atau ke lembaga bantuan hukum.

     d.   Jangan menyalahkan korban: Ubah budaya menyudutkan menjadi budaya mendukung.

Tempat kerja seharusnya menjadi ruang aman untuk berkembang, bukan medan perang yang mengancam mental.
Jika kamu pernah mengalami atau menyaksikan pelecehan seksual, jangan diam. Suaramu bisa menyelamatkan dirimu, dan mungkin juga banyak orang lain di sekitarmu.
Bagikan tulisan ini agar kesadaran makin meluas, dan mari ciptakan budaya kerja yang lebih manusiawi dan bermartabat.

 


Post a Comment

أحدث أقدم