Bayangkan kamu sedang terlibat dalam sebuah perkara hukum. Di depanmu bukan hanya hakim dan jaksa, tapi juga sebuah layar besar menampilkan analisis dari sistem kecerdasan buatan AI yang menilai bukti, memprediksi hasil sidang, bahkan memberi rekomendasi hukuman.
Apakah kamu akan merasa lebih tenang karena prosesnya efisien, atau justru
gelisah karena keputusan diambil oleh mesin tanpa hati?
AI dan Peradilan: Kenyataan
yang Semakin Dekat
Penggunaan Artificial
Intelligence (AI) dalam sistem peradilan bukan lagi imajinasi film fiksi
ilmiah. Negara-negara seperti Tiongkok, Estonia, dan Amerika Serikat sudah
mulai mengintegrasikan AI untuk mempercepat proses hukum, meminimalkan beban
administratif hakim, dan menekan biaya litigasi.
Lalu, bagaimana dengan
Indonesia?
Diskusi mengenai pemanfaatan AI
dalam pengadilan mulai menggeliat, terutama karena jumlah perkara yang menumpuk
dan keterbatasan SDM di lembaga peradilan. Tapi, pertanyaannya bukan hanya bisa
atau tidak, melainkan: "Siapkah kita secara etika dan hukum?"
Baca Juga : Revisi KUHAP: Akhir dari Peradilan Kolot, atau Awal Masalah Peradilan Baru?
Kelebihan AI di Pengadilan:- Efisiensi tinggi: AI dapat membaca ribuan
putusan hukum sebelumnya untuk membantu hakim mengambil keputusan yang
konsisten.
- Minim human error: Tidak terpengaruh emosi,
tekanan publik, atau konflik kepentingan.
- Akses informasi lebih cepat: Membantu pihak
pengacara dan jaksa dalam menyiapkan argumentasi berdasarkan data hukum
yang relevan.
Namun, AI bukan tanpa risiko.
Tantangan Etis dan Hukum:
- Kurangnya transparansi algoritma: Bagaimana
AI mengambil keputusan? Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi
kesalahan?
- Potensi bias data: Jika data yang digunakan
untuk melatih AI mengandung bias, maka keputusannya juga bisa bias.
- Tidak punya rasa keadilan manusiawi: Hukum
bukan hanya soal logika, tapi juga empati, konteks, dan hati nurani.
Pandangan Praktisi SDM:
Ayu Lestari, HR &
Industrial Relations Manager di sektor manufaktur, berkomentar:
“Saya melihat AI sangat membantu dalam analisis hukum internal perusahaan, seperti perjanjian kerja dan disiplin karyawan.”
“Namun saya masih ragu kalau AI diterapkan sepenuhnya di pengadilan. Dunia kerja penuh dinamika sosial, dan itu tidak bisa disimpulkan oleh algoritma semata. Apalagi kalau menyangkut nasib orang.”
Menuju Kolaborasi, Bukan
Substitusi
Solusi terbaik bukan mengganti
hakim dengan mesin, tapi menciptakan kolaborasi antara manusia dan AI:
- Hakim dibantu AI untuk riset dan analisis, tapi keputusan
akhir tetap pada manusia
- Pengadilan bisa menggunakan AI untuk mengefisienkan
sistem, tanpa kehilangan nilai-nilai keadilan
- Harus ada regulasi yang jelas agar
penggunaan AI dalam hukum tidak disalahgunakan
Teknologi AI di pengadilan bisa jadi revolusi atau bumerang semuanya tergantung bagaimana kita mengaturnya.
Baca Juga : Advokat Dipinggirkan? RUU KUHAP dan Ancaman Bisu bagi Pembela Keadilan
Keadilan sejati bukan hanya soal kecepatan, tapi juga rasa dan empati.
Bagikan artikel ini jika kamu
peduli dengan masa depan hukum di era digital.
Tulis di kolom komentar: Apakah kamu siap menerima keputusan hukum yang
melibatkan AI? Atau kamu masih percaya, keadilan hanya bisa ditegakkan oleh
manusia?
Posting Komentar