Ketika Laut Jadi Halaman Rumah: Impian atau Pelanggaran?
Bayangkan kamu sedang duduk di balkon vila terapung, angin
laut menerpa wajah, dan air jernih terhampar di sekeliling. Terdengar seperti
mimpi eksklusif, bukan? Tapi tunggu dulu, bagaimana status hukumnya? Apakah
vila atau restoran di atas laut itu legal? Apakah bisa diberikan Hak
Guna Bangunan (HGB)?
Di tengah tren pembangunan resor eksklusif, restoran terapung, dan bahkan permukiman reklamasi, pertanyaan tentang kepemilikan tanah di atas laut jadi semakin relevan. Banyak orang ingin investasi, tapi takut tersandung hukum. Jadi, bolehkah HGB diberikan di atas laut?
Memahami HGB: Antara Daratan dan Perairan
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan
dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, yang diberikan oleh
negara dengan jangka waktu tertentu. Umumnya berlaku untuk lahan daratan,
tapi bagaimana jika bangunan berdiri di atas laut—yang secara prinsip dikuasai
langsung oleh negara dan merupakan bagian dari ruang milik publik (public
domain)?
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, HGB hanya diberikan atas tanah. Namun, laut bukan termasuk kategori tanah dalam definisi konvensional. Maka muncul pertanyaan pelik: apakah reklamasi laut dapat "mengubah laut menjadi tanah" yang bisa diberikan HGB?
Pendapat Pakar: Abu-Abu Tapi Bisa
Menurut Dr. Yuliana Safira, pakar hukum pertanahan dari
Universitas Indonesia, secara prinsip HGB di atas laut tidak
diperbolehkan langsung, kecuali jika laut tersebut telah melalui proses
reklamasi yang sah dan memiliki izin dari pemerintah pusat maupun daerah.
Artinya, tanah reklamasi bisa berubah status menjadi tanah negara yang
kemudian bisa diberikan HGB atau HPL (Hak Pengelolaan Lahan).
"Selama laut belum direklamasi dan tidak ada izin pemanfaatan ruang laut, maka pemberian HGB akan cacat hukum. Tapi bila sudah ada peraturan daerah, peraturan menteri, dan izin lingkungan, maka statusnya bisa berubah,”jelas Dr. Yuliana.
Contoh Kasus: Pulau Reklamasi di Teluk Jakarta
Pulau C dan D di proyek reklamasi Teluk Jakarta sempat
menjadi polemik besar. Beberapa pengembang mengklaim memiliki HGB atas tanah
hasil reklamasi yang masih kontroversial. Menurut investigasi media, puluhan
HGB telah diterbitkan bahkan sebelum status tanah tersebut sepenuhnya jelas
secara hukum.
Hal ini menuai protes dari aktivis lingkungan dan warga pesisir. Mereka khawatir bahwa legalisasi HGB di atas laut tanpa kepastian hukum yang kuat dapat merampas akses publik terhadap laut dan menciptakan preseden berbahaya.
HGB di Atas Laut: Apa Saja Syaratnya Jika Memang Bisa?
Jika ingin mengurus HGB di atas laut (misalnya untuk
restoran terapung atau resor di daerah pariwisata), berikut syarat-syarat
minimal yang harus dipenuhi:
- Izin
reklamasi dari pemerintah pusat/daerah
- Amdal
(Analisis Dampak Lingkungan) yang disetujui
- Persetujuan
pemanfaatan ruang laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
- Penetapan
status tanah sebagai tanah negara
- Pengajuan
permohonan HGB melalui Kantor Pertanahan setempat
Tanpa langkah-langkah ini, segala bangunan di atas laut
bisa dikategorikan sebagai ilegal, dan sewaktu-waktu dapat dibongkar atau
dibatalkan haknya.
Laut Bukan Tanah Kosong
Laut bukan ruang kosong yang bisa dibangun seenaknya. Ia
punya fungsi ekologis, sosial, dan budaya yang harus dilindungi. Tapi seiring
perkembangan zaman, manusia akan terus mencari cara untuk ‘menguasai’ ruang
baru—termasuk laut.
Pertanyaannya bukan sekadar “bisa atau tidak punya HGB di
atas laut”, tapi “bagaimana caranya agar pembangunan tidak mengorbankan hak
publik, lingkungan, dan masa depan?”
Apakah kamu punya pengalaman dengan pembangunan di wilayah
pesisir atau reklamasi? Atau sedang berencana investasi properti laut? Bagikan
ceritamu di kolom komentar. Jangan lupa share artikel ini agar lebih banyak
orang paham tentang hukum pertanahan laut!
Ikuti terus blog ini untuk insight hukum properti,
lingkungan, dan kebijakan tata ruang yang jarang dibahas tapi penting
diketahui!
إرسال تعليق