Pernahkah Anda membaca berita tentang dua perusahaan besar yang gagal kerja sama, padahal sebelumnya mereka sudah menandatangani MoU? Atau mungkin Anda sendiri pernah menandatangani MoU dan mengira itu artinya semua sudah sah dan mengikat?
Kenyataannya, banyak pengusaha pemula, pekerja profesional, bahkan pejabat publik keliru memahami arti dan kekuatan hukum dari MoU (Memorandum of Understanding). Akibatnya, ketika terjadi sengketa, mereka terkejut karena ternyata tidak ada dasar hukum yang cukup kuat untuk menuntut pihak lain.
Pertanyaannya:
Apa sebenarnya perbedaan MoU dengan perjanjian atau kontrak? Dan mana yang
benar-benar bisa melindungi Anda di mata hukum?
MoU: Kesepakatan Awal, Bukan Janji Final
MoU adalah dokumen yang menunjukkan niat baik atau
kesepahaman awal antara dua pihak. Umumnya digunakan sebagai landasan
negosiasi atau penjajakan kerja sama sebelum perjanjian resmi disusun.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, agar suatu perjanjian
sah dan mengikat, harus ada:
- Kesepakatan
para pihak,
- Kecakapan
hukum,
- Suatu
hal tertentu,
- Sebab
yang halal.
Sebaliknya, MoU sering tidak memuat detail kewajiban,
objek perjanjian, dan sanksi hukum, sehingga tidak memenuhi unsur
sebagai kontrak yang mengikat.
Baca Juga : Advokat Dipinggirkan? RUU KUHAP dan Ancaman Bisu bagi Pembela Keadilan
Kontrak/Perjanjian: Kekuatan Hukum yang Nyata
Berbeda dari MoU, kontrak atau perjanjian adalah dokumen
legal yang memiliki konsekuensi hukum, termasuk:
- Hak
dan kewajiban yang jelas,
- Mekanisme
penyelesaian sengketa,
- Sanksi bila terjadi pelanggaran.
Menurut praktisi hukum bisnis, Dr. Ratna Widyastuti, SH.,
M.Kn,:
“MoU hanya mengikat secara moral, bukan legal, kecuali
memang dituangkan dalam klausul yang menyatakan demikian. Sebaliknya, kontrak
adalah alat bukti hukum utama yang bisa digunakan di pengadilan.”
Ilustrasi Kasus Nyata: Salah Paham yang Berujung Sengketa
Kasus 1: MoU Investasi Gagal – PT Bina Karya vs Investor
Asing
PT Bina Karya menandatangani MoU dengan investor asing untuk
proyek properti. Namun, setelah MoU diteken, proyek tidak berjalan dan dana
tidak cair. Ketika PT Bina Karya menggugat, hakim menolak karena MoU tidak
mencantumkan kewajiban hukum atau nilai transaksi, dan tidak memenuhi unsur
kontrak yang sah.
Kasus 2: Perjanjian Proyek Konstruksi – PT Mega Beton vs
PT Pilar
Dalam kasus lain, PT Mega Beton menggugat mitranya atas
wanprestasi dalam proyek jalan tol. Karena mereka menandatangani perjanjian
lengkap, yang berisi pasal-pasal rinci dan sanksi keterlambatan, gugatan
dikabulkan dan ganti rugi dibayarkan Rp1,2 miliar.
Data dan Fakta: Banyak Sengketa Bisnis Bermula dari Salah
Paham Dokumen
Menurut data Lembaga Arbitrase Nasional Indonesia (BANI):
- 42%
sengketa bisnis tahun 2022 diawali dari perbedaan persepsi tentang
kekuatan hukum MoU dan kontrak.
- Dari
semua gugatan terkait MoU, hanya 18% yang dimenangkan oleh pihak
penggugat, karena MoU dianggap tidak cukup kuat sebagai dasar tuntutan
hukum.
Dalam dunia bisnis dan kerja profesional, satu tanda
tangan bisa menentukan masa depan.
Namun, apakah Anda benar-benar tahu apa yang Anda
tandatangani?
Jangan sampai MoU yang terlihat sah secara visual, menipu
rasa aman Anda secara hukum. Jangan pula menganggap semua dokumen berjudul
“Perjanjian” pasti sah dan kuat di pengadilan. Karena kekuatan hukum bukan
soal nama dokumen, tapi isinya.
“MoU adalah janji, kontrak adalah komitmen. Yang satu
bisa dibatalkan tanpa sanksi, yang lain bisa menyeret ke pengadilan.”
Bagikan artikel ini ke rekan bisnis, pengacara pemula, atau siapa saja yang sedang menyiapkan kerja sama penting.
kuti akun kami untuk konten hukum praktis dan pembahasan kasus-kasus menarik lainnya.
Posting Komentar