Pernahkah Anda menjalin kerja sama dengan perusahaan yang alamat kantornya terlihat meyakinkan terletak di gedung perkantoran elite, pusat kota, dan dikelola dengan staf resepsionis yang ramah? Namun ketika Anda memutuskan untuk berkunjung secara langsung, yang Anda temui hanyalah meja kosong, alamat penyewaan, dan tak seorang pun dari perusahaan tersebut bisa Anda temui.
Selamat datang di dunia virtual office, yang jika tidak disikapi dengan bijak, bisa menjadi jebakan hukum yang mematikan dalam dunia bisnis.
Baca Juga : Terjebak Pinjol Ilegal: Dari Jeratan Bunga Mencekik hingga Ancaman Sebar Data – Apa Kata Hukum?
Tiga minggu terakhir, sebuah perusahaan cargo aktif menerima pengiriman rutin dari customer baru. Mereka terlihat serius — rutin mengirimkan barang hampir setiap hari. Total invoice pun terus meningkat, menyentuh angka ratusan juta rupiah.
Legal perusahaan mulai merasa curiga ketika tidak ada pembayaran masuk sesuai tempo. Mereka pun berinisiatif melakukan kunjungan ke kantor customer, sesuai alamat tertera di perjanjian. Tapi yang ditemukan justru mengejutkan.
Kantor tersebut ternyata adalah virtual office, dan yang lebih mengerikan, sewa alamatnya sudah tidak diperpanjang sejak tahun lalu. Tidak ada keberadaan fisik. Tidak ada PIC. Tidak ada siapa pun untuk dimintai pertanggungjawaban.
Customer tersebut menghilang, menyisakan potensi piutang tak tertagih.
Analisa Hukum dan Ketentuan yang Berlaku
Dalam hukum perdata Indonesia, Pasal 1320 KUH Perdata
menyebutkan bahwa salah satu syarat sah perjanjian adalah kecakapan dan hal
tertentu — termasuk kepastian domisili sebagai pihak dalam perjanjian.
Sementara itu, domisili atau alamat perusahaan
menjadi elemen penting dalam:
- Pengiriman
somasi atau surat peringatan
- Gugatan
wanprestasi
- Pelacakan
aset dan pertanggungjawaban hukum
Mengacu pada praktik bisnis sehat, perusahaan seharusnya
memiliki alamat tetap yang bisa diverifikasi, bukan sekadar alamat pinjaman
atau yang tidak diperpanjang masa sewanya.
Virtual office sendiri sah menurut hukum, asalkan:
- Disertai
legalitas perusahaan (NIB, NPWP, Akta)
- Alamat
masih aktif dan digunakan secara sah untuk korespondensi
- Customer
transparan menyatakan bahwa mereka menggunakan VO dan menyediakan titik
temu atau kontak penanggung jawab yang valid
Namun jika:
- Alamat
tidak aktif
- Tidak
ada pengakuan tertulis bahwa itu VO
- Tidak
ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban
Maka besar kemungkinan terjadi perbuatan melawan hukum,
bahkan penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Contoh Kasus Serupa:
- Seorang
distributor barang elektronik pernah mengalami kerugian Rp250 juta setelah
perusahaan yang tampak profesional (menggunakan VO) melakukan pembelian
dalam jumlah besar dan kemudian menghilang.
- Setelah
ditelusuri, kantor hanya “disewa” selama 3 bulan pertama untuk keperluan
izin dan marketing awal. Tidak ada aktivitas nyata.
Baca Juga : Lagi ramai di halaman X : Polemik Cuti Bersama Banyak dan Produktivitas Pekerja Indonesia menurun ?
Alamat mewah tidak selalu menjamin keabsahan hukum.
Dalam kerja sama bisnis, jangan hanya melihat dari permukaan. Verifikasi
legalitas, keberadaan fisik, dan identitas hukum customer adalah keharusan —
bukan pilihan.
Bila Anda adalah pelaku usaha, staf legal, atau bagian
operasional — wajibkan due diligence sebelum menjalin kerja sama jangka
panjang. Jangan sampai perusahaan Anda jadi korban berikutnya dari customer
“hantu” yang hanya bersembunyi di balik alamat virtual.
Tindakan preventif hari ini bisa menyelamatkan Anda dari
kerugian besar di kemudian hari.
Posting Komentar