Realita Jalan: Ketika Rakyat Memilih Mencari Nafkah, dan Aplikasi Pilih Naikkan Tarif demi Bertahan Hidup

Berangkat kerja di pagi itu, udara Jakarta serasa penuh ketegangan. hal ini karena Tanggal 20 Mei 2025  dijanjikan sebagai hari besar perjuangan para pengemudi ojek online yakni aksi serentak bertajuk Aksi Akbar 205, yang melibatkan sejumlah besar pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai kota di Indonesia. Aksi ini direncanakan dalam bentuk demo langsung dan offbid massal, yaitu mematikan aplikasi selama 24 jam penuh. Namun alih-alih melihat lautan jaket hijau atau biru berkumpul di pusat kota, jalanan justru masih dipenuhi mereka yang melaju membawa harapan bukan spanduk protes. Aksi akbar 205 mungkin digelar, tapi kenyataannya: banyak yang tidak datang.

Seharusnya hari itu menjadi sejarah. Ribuan ojol berkumpul, jalanan macet karena lautan jaket hijau dan biru yang menyuarakan tuntutan mereka. Tapi kenyataan di lapangan berkata lain. Aksi Akbar 205, yang digadang-gadang jadi momen perlawanan terbesar para driver online, justru terasa sunyi. Yang ramai justru notifikasi orderan yang terus berdenting di ponsel para driver.

Baca Juga : Aksi Akbar 205: Antara Aspirasi Mitra Ojol dan Dampaknya bagi Pengguna

Kenapa banyak yang tidak ikut aksi? Dan kenapa di saat yang sama, aplikasi mulai menaikkan tarif seakan sedang ‘balas dendam’ setelah lama mengobral promo? Inilah kisah dua realitas yang bertabrakan di jalanan.

Realita di Lapangan
Dani, seorang driver ojol dari Depok, memilih untuk tetap bekerja ketimbang ikut aksi. “Saya paham perjuangan teman-teman, tapi anak saya harus tetap makan. Kalau saya ikut aksi, siapa yang bayar listrik bulan ini?” katanya dengan mata lelah. Dani bukan satu-satunya. Dari ribuan yang tergabung dalam komunitas ojol, hanya sebagian yang benar-benar turun ke jalan. Sisanya memilih tetap narik — demi bertahan hidup, bukan karena tak peduli.

Di sisi lain, aplikasi-aplikasi yang selama ini jadi tulang punggung penghidupan mereka kini berubah strategi. Setelah bertahun-tahun "bakar uang" demi dominasi pasar, kini mereka mulai menaikkan tarif dan membatasi promo. Tujuannya? Bertahan hidup. Beberapa aplikasi pesaing bahkan mulai menunjukkan tanda-tanda menyerah: tutup operasi, merger, atau justru menghilang diam-diam.

Analisa dan Sudut Pandang Ahli
Menurut Prof. Rina Darmawan, pengamat sosiologi digital, fenomena ini adalah gambaran nyata dari ketimpangan harapan dan kenyataan di lapangan. “Driver ingin perubahan, tapi mereka juga dikejar kebutuhan harian. Sementara perusahaan teknologi harus menyeimbangkan antara profit dan loyalitas pengguna. Konflik seperti ini akan terus terjadi sampai ada kebijakan yang berpihak pada keseimbangan,” jelasnya.

Sementara itu, Aditya Nugraha, analis bisnis teknologi, menilai lonjakan tarif bukan bentuk keserakahan, tapi upaya bertahan. “Kebanyakan aplikasi transportasi online sebenarnya belum untung. Kenaikan tarif itu cara mereka memperpanjang napas. Tapi kalau tidak hati-hati, justru bisa kehilangan pasar dan memperburuk kepercayaan mitra,” katanya.

Refleksi: Semua Sedang Bertahan, Tapi Siapa yang Dikorbankan?
Aksi Akbar 205 bukan gagal, tapi menunjukkan satu hal penting: rakyat pekerja makin sulit untuk bersuara, karena hidup terlalu mahal untuk dihentikan sehari saja. Di sisi lain, perusahaan teknologi juga tak bisa terus-menerus subsidi tanpa batas. Tapi jika keduanya terus berjalan tanpa titik temu, yang akan tumbang adalah sistemnya sendiri.

Kini bukan waktunya saling menyalahkan, tapi saling memahami. Pengemudi butuh penghasilan yang layak, aplikasi butuh model bisnis yang berkelanjutan, dan konsumen butuh layanan yang adil. Suara Anda sebagai pengguna, pengemudi, atau pembuat kebijakan bisa jadi penentu masa depan transportasi digital kita.

Mari mulai diskusi yang jujur, bukan hanya reaksi sesaat. Bagikan tulisan ini, beri komentar Anda, dan jadilah bagian dari solusi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama