Ketika Kebenaran dan Kemenangan Berseberangan: Di Mana Moralitas Hukum Seorang Pengacara?"

Apa jadinya jika seorang pengacara tahu kliennya bersalah, tapi tetap membelanya demi kemenangan?

Apakah itu bentuk profesionalisme atau justru pengkhianatan terhadap nurani hukum?
Di tengah sorotan publik dan tekanan menang perkara, moralitas hukum bagi pengacara sering kali dipertaruhkan dan kadang, dikorbankan.

Moralitas Hukum: Lebih dari Sekadar Aturan

Menjadi pengacara bukan hanya soal memenangkan perkara atau “menangani klien dengan baik”. Profesi ini juga membawa tanggung jawab moral terhadap keadilan.
Namun, di lapangan, idealisme sering kali berbenturan dengan:

  1. Tekanan klien
  2. Target firma hukum
  3. Politik hukum dan opini publik
  4. Ambisi pribadi

Moralitas hukum adalah kompas yang harus dijaga, bukan hanya agar profesi dihormati, tetapi juga agar hukum tetap menjadi alat keadilan, bukan sekadar alat transaksi.

Dilema Umum yang Dihadapi Pengacara

  1. Membela klien yang tahu-tahu bersalah
  2. Diminta menyembunyikan bukti tertentu demi strategi hukum
  3. Memanfaatkan celah hukum untuk membebaskan penjahat ‘berduit’
  4. Ditekan untuk menggiring opini publik lewat media, bukan fakta hukum

Semua ini menimbulkan pertanyaan mendasar:

Sampai di mana pengacara boleh “bermain” tanpa mengkhianati prinsip keadilan?

Pandangan Praktisi SDM:

Yudi Lesmana, Praktisi HRLegal Manager & Advokat di perusahaan multinasional, berbagi pendapat:

“Kami sering berhadapan dengan pengacara eksternal dalam kasus ketenagakerjaan. Ada yang profesional dan menjunjung etika, tapi ada juga yang agresif bahkan sampai mengintimidasi pihak HR demi klien.”

“Bagi kami, pengacara yang tetap berpegang pada nilai kejujuran dan keadilan lebih kami percaya. Karena jangka panjang, reputasi lebih penting daripada menang dengan cara kotor.”

 Baca Juga : Advokat Dipinggirkan? RUU KUHAP dan Ancaman Bisu bagi Pembela Keadilan

Solusi: Profesionalisme dengan Nurani

Moralitas hukum bukan berarti pengacara tidak boleh membela klien “bermasalah”. Tapi:

  1. Tetap menjunjung etika profesi advokat (lihat Kode Etik Advokat Indonesia)
  2. Transparan terhadap klien tanpa menjanjikan hasil tak masuk akal
  3. Tidak membiarkan diri menjadi alat untuk memanipulasi hukum
  4. Mengutamakan keadilan, bukan hanya kemenangan

Hukum adalah alat keadilan, dan pengacara adalah tangan yang menggerakkannya.
Kalau tangan itu kotor, keadilan pun bisa berubah jadi bisnis.
Kemenangan yang menginjak moral bukan kemenangan sejati itu cuma pembenaran yang dibungkus legalitas.

Bagikan artikel ini jika kamu percaya bahwa profesi pengacara harus berdiri di antara kecerdasan dan hati nurani.

Tulis pendapatmu di komentar: Haruskah pengacara selalu membela, meski tahu kebenaran berkata lain?

 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama