Dina, 9 tahun, duduk terpaku di pojok ruang tunggu pengadilan agama. Matanya sembab, memeluk boneka kecil lusuh yang selalu ia bawa. Hari itu ia harus memilih: tinggal bersama ayah atau ibu. Padahal, yang ia inginkan hanya satu—keluarga yang utuh.
Tapi perceraian telah memisahkan segalanya, dan kini, ia tak ubahnya “obyek”
dalam perkara hukum.
Apakah dalam perebutan hak asuh, suara anak benar-benar didengar? Ataukah
mereka hanya jadi korban dari ego dua orang dewasa?
1. Perebutan Hak Asuh: Lebih
dari Sekadar Sengketa Hukum
Ketika rumah tangga runtuh, anak sering kali menjadi titik terberat dalam perceraian. Perebutan hak asuh bukan hanya soal siapa yang lebih layak mengasuh, tapi juga bisa menjadi ajang saling balas dendam antara mantan pasangan.
Tak jarang, anak dimanipulasi, diasingkan, bahkan dijauhkan dari salah satu
orang tuanya sebagai bentuk “hukuman”. Dalam istilah hukum, ini dikenal sebagai
parental alienation.
Baca Juga : Revisi KUHAP: Akhir dari Peradilan Kolot, atau Awal Masalah Peradilan Baru?
2. Dampak Psikologis pada Anak
Anak-anak yang terjebak dalam
konflik orang tuanya bisa mengalami trauma jangka panjang, seperti:
- Depresi dan kecemasan
- Kehilangan rasa percaya diri dan stabilitas
emosional
- Kebingungan identitas dan perasaan bersalah
- Prestasi akademik menurun
Padahal, hak anak atas kasih
sayang dan kehadiran kedua orang tuanya diatur secara tegas dalam UU No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
3. Pandangan Praktisi Hukum
Menurut Aulia Rachman, SH., MH,
seorang advokat keluarga dan mediasi perceraian, banyak pasangan yang
memperlakukan hak asuh sebagai “piala kemenangan”.
“Padahal ini bukan soal siapa
yang menang, tapi apa yang terbaik untuk anak. Sayangnya, banyak orang tua
lebih fokus pada konflik pribadi daripada kebutuhan psikologis anak.”
Aulia menambahkan bahwa hakim sebenarnya akan mempertimbangkan faktor seperti:
- Kedekatan emosional anak
- Kondisi ekonomi dan moral orang tua
- Stabilitas lingkungan pengasuhan
Namun demikian, suara anak kerap kali tak dijadikan pertimbangan utama, terutama jika usianya masih dianggap terlalu kecil.
4. Solusi dan Harapan
- Fokus pada kepentingan terbaik anak (best
interest of the child), bukan ego orang tua.
- Gunakan jalur mediasi sebelum membawa
perkara ke pengadilan.
- Libatkan psikolog anak dalam proses untuk
mendengar suara dan kebutuhannya.
- Beri ruang anak tetap memiliki hubungan sehat
dengan kedua orang tua, meskipun telah berpisah.
Baca Juga : Advokat Dipinggirkan? RUU KUHAP dan Ancaman Bisu bagi Pembela Keadilan
Jika kamu sedang menghadapi proses perceraian, atau mengenal seseorang yang sedang berjuang mempertahankan hak asuh, ingatlah: yang terpenting bukan menang di pengadilan, tapi menang di hati anak.
Bagikan tulisan ini agar makin banyak orang tua sadar, bahwa dalam setiap
perebutan hak asuh, ada satu jiwa kecil yang perlu dipeluk, bukan diperebutkan.
إرسال تعليق