Kebebasan Bersuara di Era Digital: Ketika Kritik Bisa Dijerat UU ITE

Rina hanya menulis sebuah komentar di media sosial: “Pelayanan publik di kota ini buruk, pejabatnya banyak yang hanya duduk manis.” Tak lama setelah itu, ia menerima surat panggilan dari polisi. Dilaporkan karena “pencemaran nama baik” melalui internet.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kita masih punya ruang untuk menyampaikan kritik? Atau, benarkah kebebasan berpendapat hari ini sedang dibungkam oleh pasal karet?

1. UU ITE: Antara Perlindungan dan Jerat

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), awalnya dirancang untuk melindungi warga dari kejahatan digital. Namun seiring waktu, beberapa pasal dalam UU ini—terutama Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 tentang berita bohong—sering digunakan untuk membungkam kritik terhadap pejabat publik, institusi, atau tokoh tertentu.

Baca Juga : Revisi KUHAP: Akhir dari Peradilan Kolot, atau Awal Masalah Peradilan Baru?

2. Ketakutan Publik dan Efek Membungkam

Banyak orang kini merasa was-was saat ingin menyampaikan kritik, meskipun berdasarkan fakta. Tak sedikit jurnalis, aktivis, bahkan warga biasa yang harus berurusan dengan hukum hanya karena unggahan, komentar, atau konten di media sosial.
Fenomena ini menciptakan chilling effect—di mana orang memilih diam karena takut dikriminalisasi.

3. Pandangan Praktisi Hukum

Menurut Arief Siregar, SH., MH, seorang advokat dan pengamat hukum siber, masalah utama dari UU ITE bukan pada tujuannya, tetapi pada multitafsir pasalnya.

“Pasal karet dalam UU ITE membuka peluang kriminalisasi terhadap kritik. Harus ada revisi atau aturan turunan yang jelas tentang batas antara opini, kritik, dan fitnah.”
Ia menekankan pentingnya edukasi publik dalam menggunakan media sosial dan mendesak agar penegak hukum lebih selektif dalam menindak laporan yang bernuansa politik atau kekuasaan.
“Kritik adalah hak warga negara, dan kritik terhadap pejabat publik bukanlah tindak pidana.”

4. Apa yang Harus Dilakukan Masyarakat?

  1. Ketahui hak-hak digital kamu. Pahami batas antara kritik dan penghinaan.
  2. Gunakan bahasa yang tepat dan hindari menyebut nama langsung jika tidak perlu.
  3. Simpan bukti jika kamu jadi korban kriminalisasi digital.
  4. Laporkan kasus kriminalisasi ke LSM atau LBH (Lembaga Bantuan Hukum).
  5. Dukung revisi UU ITE agar tidak disalahgunakan.

Baca Juga : Advokat Dipinggirkan? RUU KUHAP dan Ancaman Bisu bagi Pembela Keadilan

Di negara demokrasi, kritik adalah bagian dari cinta terhadap negeri. Tapi jika suara rakyat dibungkam lewat jerat hukum yang abu-abu, maka demokrasi itu sendiri sedang dalam bahaya.
Saatnya kita tidak hanya bijak dalam berpendapat, tapi juga kritis terhadap undang-undang yang bisa membungkam.

Bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang sadar akan pentingnya menjaga ruang digital yang adil, aman, dan demokratis. Suaramu punya nilai—jangan biarkan ia dibungkam.

Post a Comment

أحدث أقدم