Bayangkan ini: pagi-pagi kamu buka laptop dari rumah, siap kerja sambil ngopi. Tiba-tiba chat masuk, “Kok kamu gak ikut meeting barusan?” Lho, meeting yang mana?
Ternyata... hanya diumumkan pas ngobrol di pantry kantor kemarin.
Skenario ini terjadi bukan karena kamu malas, tapi karena sistem kerja hybrid belum disiapkan dengan adil dan matang.
Jadi, apakah kerja hybrid ini benar-benar fleksibel, atau justru bikin kita
makin jauh dari rasa kolektif sebagai tim?
Hybrid office adalah gabungan kerja dari kantor dan dari rumah. Gagasannya mulia: fleksibel, modern, efisien. Tapi realitasnya?
5 Tantangan Budaya Hybrid yang
Jarang Dibahas:
- Informasi Tidak Merata
Banyak diskusi
penting hanya terjadi secara informal di kantor, membuat yang remote
tertinggal.
- Kesenjangan Rasa Percaya
Beberapa
atasan masih merasa bahwa “yang terlihat” = “yang bekerja”, padahal remote
worker bisa lebih fokus dan produktif.
- Kehilangan Koneksi Emosional
Tanpa
interaksi spontan, bonding tim jadi dingin. Akibatnya, rasa memiliki memudar.
- Keseimbangan Kerja-Hidup yang Semu
WFH kadang
justru bikin jam kerja tak jelas. Chat malam, revisi dadakan, dan ekspektasi
selalu online.
- Aturan yang Belum Konsisten
Ada tim yang full remote, ada yang wajib hadir, ada juga yang bingung giliran WFO-nya kapan. Budaya jadi membingungkan.
Sudut Pandang Praktisi SDM:
Menurut Anita Prameswari,
Senior HR Consultant:
“Budaya hybrid tidak bisa
dibangun hanya dengan Zoom dan jadwal shifting. Harus ada kesadaran bahwa work
culture itu soal pengalaman karyawan apakah mereka merasa terlibat, didengar,
dan dipercaya.”
Ia menyarankan perusahaan mengembangkan ritual hybrid: seperti virtual morning huddle, peer check-in mingguan, dan jam kerja fleksibel yang jelas batasnya.
Tips Membangun Budaya Hybrid
yang Sehat:
- Remote-First Communication: Semua info
penting harus tersedia secara digital dan tertulis.
- Ritual Tim Hybrid: Sesi ngobrol santai,
forum apresiasi, atau game online bersama.
- Pemimpin Sebagai Role Model: Pemimpin harus
adil, tidak bias lokasi kerja.
- Transparansi Jam Kerja: Hindari budaya
“selalu online” tanpa batas.
- Libatkan HR Secara Aktif: Evaluasi
pengalaman karyawan hybrid secara berkala.
Kerja hybrid bisa jadi masa depan
kerja yang ideal tapi hanya jika budayanya dibangun dengan niat dan
strategi. Tanpa itu, kita hanya menciptakan generasi “kerja
sendiri-sendiri” yang kehilangan makna tim.
Gimana pengalaman kamu kerja hybrid? Lebih nyaman atau lebih bikin burnout? Yuk cerita di kolom komentar!
Bagikan artikel ini ke rekan kerja
dan HR kamu. Siapa tahu mereka juga sedang mencari cara menyempurnakan sistem
hybrid kantor.
إرسال تعليق