Hybrid Office: Kerja Remote atau Remote dari Masalah? Yuk, Bedah Tantangannya!

Bayangkan ini: pagi-pagi kamu buka laptop dari rumah, siap kerja sambil ngopi. Tiba-tiba chat masuk, “Kok kamu gak ikut meeting barusan?” Lho, meeting yang mana?

Ternyata... hanya diumumkan pas ngobrol di pantry kantor kemarin.

Skenario ini terjadi bukan karena kamu malas, tapi karena sistem kerja hybrid belum disiapkan dengan adil dan matang.

Jadi, apakah kerja hybrid ini benar-benar fleksibel, atau justru bikin kita makin jauh dari rasa kolektif sebagai tim?

 Baca Juga : Revisi KUHAP: Akhir dari Peradilan Kolot, atau Awal Masalah Peradilan Baru?

Hybrid office adalah gabungan kerja dari kantor dan dari rumah. Gagasannya mulia: fleksibel, modern, efisien. Tapi realitasnya?

5 Tantangan Budaya Hybrid yang Jarang Dibahas:

  1. Informasi Tidak Merata

Banyak diskusi penting hanya terjadi secara informal di kantor, membuat yang remote tertinggal.

  1. Kesenjangan Rasa Percaya

Beberapa atasan masih merasa bahwa “yang terlihat” = “yang bekerja”, padahal remote worker bisa lebih fokus dan produktif.

  1. Kehilangan Koneksi Emosional

Tanpa interaksi spontan, bonding tim jadi dingin. Akibatnya, rasa memiliki memudar.

  1. Keseimbangan Kerja-Hidup yang Semu

WFH kadang justru bikin jam kerja tak jelas. Chat malam, revisi dadakan, dan ekspektasi selalu online.

  1. Aturan yang Belum Konsisten

Ada tim yang full remote, ada yang wajib hadir, ada juga yang bingung giliran WFO-nya kapan. Budaya jadi membingungkan.

Sudut Pandang Praktisi SDM:

Menurut Anita Prameswari, Senior HR Consultant:

“Budaya hybrid tidak bisa dibangun hanya dengan Zoom dan jadwal shifting. Harus ada kesadaran bahwa work culture itu soal pengalaman karyawan apakah mereka merasa terlibat, didengar, dan dipercaya.”

Ia menyarankan perusahaan mengembangkan ritual hybrid: seperti virtual morning huddle, peer check-in mingguan, dan jam kerja fleksibel yang jelas batasnya.

Tips Membangun Budaya Hybrid yang Sehat:

  1. Remote-First Communication: Semua info penting harus tersedia secara digital dan tertulis.
  2. Ritual Tim Hybrid: Sesi ngobrol santai, forum apresiasi, atau game online bersama.
  3. Pemimpin Sebagai Role Model: Pemimpin harus adil, tidak bias lokasi kerja.
  4. Transparansi Jam Kerja: Hindari budaya “selalu online” tanpa batas.
  5. Libatkan HR Secara Aktif: Evaluasi pengalaman karyawan hybrid secara berkala.

 Baca Juga : Advokat Dipinggirkan? RUU KUHAP dan Ancaman Bisu bagi Pembela Keadilan

Kerja hybrid bisa jadi masa depan kerja yang ideal tapi hanya jika budayanya dibangun dengan niat dan strategi. Tanpa itu, kita hanya menciptakan generasi “kerja sendiri-sendiri” yang kehilangan makna tim.

 Gimana pengalaman kamu kerja hybrid? Lebih nyaman atau lebih bikin burnout? Yuk cerita di kolom komentar!

 Bagikan artikel ini ke rekan kerja dan HR kamu. Siapa tahu mereka juga sedang mencari cara menyempurnakan sistem hybrid kantor.

 

Post a Comment

أحدث أقدم