Bayangkan ini: Seorang anak laki-laki Muslim berdiri di depan makam ibunya. Ia menunduk, menahan air mata, bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dilema yang menyesakkan dada. Ibunya, yang selama hidupnya bukan pemeluk Islam, meninggalkan harta cukup besar. Tapi kini muncul pertanyaan yang menyayat: Apakah sang anak boleh mewarisi hartanya? Di sinilah keimanan, hukum, dan rasa kemanusiaan saling bersilangan.
Cerita Nyata: Warisan yang Tak Bisa Dimiliki
Kisah ini datang dari seorang pria bernama Fikri (nama
samaran). Ia adalah seorang mualaf sejak kuliah dan telah menjalani kehidupan
Islami dengan tekun. Ibunya, seorang non-Muslim yang membesarkan Fikri seorang
diri setelah sang ayah meninggal, wafat tahun lalu. Fikri adalah anak
satu-satunya. Namun, ketika proses pembagian warisan dimulai, ia terkejut
dengan keputusan dari pihak keluarga besar dan ulama setempat: Ia tidak
berhak mendapatkan sepeser pun dari harta ibunya menurut hukum waris Islam.
Bingung dan kecewa, Fikri mencari penjelasan lebih lanjut.
Hatinya teriris bukan karena harta, tapi karena seolah agama yang ia cintai
menempatkannya dalam posisi serba salah.
Apa Kata Hukum Islam?
Menurut mayoritas ulama dan berdasarkan hadis Nabi Muhammad
SAW yang berbunyi:
“Laa yaritsu al-muslim al-kaafir wa laa al-kaafir al-muslim.”
(Seorang Muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari Muslim.)
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, dalam hukum waris Islam, perbedaan agama menjadi
penghalang waris.
Namun, benarkah tidak ada jalan tengah?
Menurut KH. M. Quraish Shihab, dalam wawancara beliau
di salah satu program televisi nasional:
“Meski warisan formal tidak bisa diberikan, masih ada ruang untuk hibah semasa hidup, wasiat, atau jalur hukum perdata negara yang dapat ditempuh. Islam mengajarkan keadilan dan kasih sayang, bukan sekadar hitam putih hukum.”
Pandangan dari Perspektif Hukum Negara
Di Indonesia, hukum waris diatur dalam beberapa sistem:
Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Perdata (BW). Jika seseorang tidak
meninggalkan wasiat berbasis syariat atau tidak menuliskan secara eksplisit
bahwa warisannya akan dibagikan menurut hukum Islam, maka hukum negara dalam
hal ini, hukum perdata dapat berlaku.
Artinya, secara hukum negara, Fikri tetap bisa mendapatkan
hak waris sebagai ahli waris sah, meskipun berbeda agama dengan almarhum
ibunya. Namun tentu, keputusan akhir tergantung pada bukti legal dan
pengadilan.
Peluang Solusi: Wasiat dan Hibah Sebelum Wafat
Dalam Islam, seseorang boleh memberikan wasiat maksimal
sepertiga dari hartanya kepada siapa pun di luar ahli waris. Artinya, seorang
non-Muslim bisa saja memberikan wasiat kepada anaknya yang Muslim.
Selain itu, hibah (pemberian harta semasa hidup) juga sah dan dianjurkan. Ini bisa menjadi solusi agar tidak ada pihak yang merasa terzalimi.
Warisan bukan hanya soal harta, tapi juga tentang keadilan,
cinta keluarga, dan cara kita menghormati yang telah tiada. Jika kamu adalah
seorang Muslim yang memiliki keluarga non-Muslim, atau sebaliknya, penting
sekali untuk membuka percakapan sejak dini tentang warisan, wasiat, dan solusi
yang sesuai hukum — baik agama maupun negara.
Baca Juga : Advokat Dipinggirkan? RUU KUHAP dan Ancaman Bisu bagi Pembela Keadilan
Jangan tunggu hingga semuanya terlambat. Bicaralah dengan
keluargamu, konsultasikan dengan ulama dan pengacara, dan buat dokumen legal
yang jelas. Karena pada akhirnya, kejelasan adalah bentuk kasih sayang terbaik.
Bagikan tulisan ini jika kamu merasa topik ini penting untuk
dibicarakan lebih luas. Mungkin ada ribuan Fikri lain di luar sana yang sedang
bingung dan membutuhkan pencerahan.
إرسال تعليق